Kolom IBRAHIM ISA *)
18 Agustus 2009
-----------------------------

MENGENANG SAHABAT KARIBKU TERCINTA JOESOEF ISAK


<Peraih WERTHEIM AWARD 2005>


(1)


Mengenangkan seorang sahabat karib tercinta yang begitu commited dengan cita-cita hidup mulya manusia: Perjuangan untuk KEBEBASAN dan KEADILAN, -- bisa terjadi melalui berbagai cara. Salah satu cara, ialah berusaha mengenalnya lebih baik, dan lebih baik lagi. Tidak jarang justru sesudah seseorang meninggal dunia, saat-saat itu bertambah pengenalan mengenai dirinya. Meninggalnya Joesoef Isak membawa ingatan kita pada masa lampau. Ketika masih leluasa bisa bergaul dan berkomunikasi dengannya.


Ini berlaku untuk semua kawan yang mengenal dan dikenalnya. Maka, sesudah beliau meninggal bermunculanlah cerita dan anekdot, tulisan dan kesan serta tanggapan banyak orang yang kenal baik dengan beliau. Manusia Indonesia yang langka ini: Joesoef Isak.


Keterlibatanku dengan 'The Wertheim Foundation', yang kepedulian utamanya adalah usaha emansipasi bangsa Indonesia, telah membawaku ke hubungan dan pengenalan yang lebih dekat lagi dengan Joesoef Isak.
Ketika mengenangkan kembali Joesoef Isak, cara yang kupilih, ialah dengan memulai tulisan terkait dengan salah satu peristiwa penting dalam hubungan dua negeri dan bangsa, Indonesia dan Belanda. Yaitu dengan diberikannya 'WERTHEIM AWARD 2005' kepada JOESOEF ISAK.


* * *


Dalam sidang Pengurusnya, pada tanggal 26 April 2005, The Wertheim Foundtion telah mengambil keputusan memberikan 'Wertheim Award 2005', kepada Joesoef Isak. 'Wertheim Award' itu diterimanya bersama budayawan Goenawan Mohammad, di Den Haag, di Ruangan Nusantara, Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Nederland. Suatu peristiwa yang luar biasa. Karena dua tokoh Indonesia tsb (dalam bahasa asingnya) adalah DESIDEN. Adalah penentang rezim Orba. Tokh, pemenang-pemenang Wertheim Award ini menerima Award tsb di ruang pertemuan KBRI Den Haag, yaitu ruang NUSANTARA.
Semua yang menerima undangan The Wertheim Foundation, ke KBRI Den Haag untuk menghadiri upacara penyampaian 'Wertheim Award 2005' kepada Goenawan Mohammad dan Joesoef Isak, ---- tak habis heran. Kok peristiwa demikian itu bisa terjadi. Bisa diduga hal itu bisa terjadi. Karena suasana gerakan REFORMASI masih menggema di KBRI Den Haag. Ini penting: Juga karena sikap pribadi Mohammad Joesoef, Dutabesar RI untuk Belanda ketika itu. Beliau kontan menyetujui usul Pengurus The Wertheim Foundation, agar penyerahan Wertheim Award kepada Goenawan Mohammad dan Joesoef Isak dilakukan di KBRI Den Haag. Di suatu wilayah Republik Indonesia!


* * *


Beberapa waktu sebelumnya atas nama Pengurus The Wertheim Foundation, aku menilpun Josoef Isak di rumahnya. Menanyakan kepadanya apakah ia bersedia menerima Wertheim Award 2005 bersama Goenawan Mohammad. Joesoef tertegun sebentar. Ia samasekali tak menduga akan mendapat penghargaan dan penghormatan demikain besarnya dari The Wertheim Foundation. Sebuah lembaga di Nederland, yang kepedulian utamanya adalan emansipasi bangsa Indonesia.
Wah, katanya. Itu suatu kehormatan besar menerima Wertheim Award. Joesoef tambah gembira mengetahui bahwa ia akan menerima Award tsb bersama Goenawan Mohammad.


Dalam keputusannya memberikan WERTHEIM AWARD 2005 kepada Joesoef Isak, dinyatakan, sebagaimana tertera pada teks yang tertera di Piagam Award Wertheim 2005 tsb sbb:
“In its meeting of April 26, 2005, the Board of the Wertheim Foundation has decided, following the advice of the external selection committee, to assign the Wertheim Award 2005 to JOESOEF ISAK, to honour him for his courage and talent and in particular for his unremitting efforts to publish politically banned but important and widely read books during the years of political oppression in Indonesia. In doing so he significantly contributed to the fight for the freedom of opinion and press in Indonesia and greatly furthered the struggle for emancipation of the Indonesia people.”
Diterjemahkan bebas, sbb:


Dalam sidangnya pada tanggal 26 April, 2005, Pengurus Wertheim Foundation telah memutuskan, sesuai saran suatu komisi seleksi internasional, untuk menyampaikan WERTHEIM AWARD 2005, kepada JOESOEF ISAK, sebagai penghormatan terhadapnya atas keberanian dan bakat kemampuannya dan teristimewa untuk usaha yang tak henti-henti untuk menerbitkan buku-buku yang dilarang secara politik dan banyak dibaca selama bertahun-tahun lamanya Indonesia mengalami penindasan politik. Dengan berbuat demikian ia telah memberikan sumbangan amat penting terhadap perjuangan untuk kebebasan menyatakan pendapat dan pers di Indonesia dan secara besar-bearan memajukan perjuangan untuk emansipasi rakyat Indonesia.
* * *
Keputusan The Wertheim Foundation yang memberikan penghargaan dan penghormatan demikian besarnya kepada Joesoef Isak, sepenyhnya tepat dan benar! Karena Joesoef Isak telah mengabdikan seluruh hidup dan karyanya demi kebebasan menyatakan pendapat, demi demokrasi dan hak-hak azasi manusia.
Demi emansipasi bangsa Indonesia.
Oleh karena itu meningalnya Joesoef Isak merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia. Sekaligus juga merupakan kehilangan besar untuk The Wertheim Foundation.

* * *

Mari kita simak dan kenangkan kembali 'ACCEPTANCE SPEECH' Joesoef Isak, ketika menerima 'Wertheim Award 005'. (Teks aslinya dalam bahasa Inggris. Berikut ini adalah terjemahan bebas>

PIDATO JOESOEF ISAK di KBRI DEN HAAG, ketika menerima Wertheim Award 2005:


Yang terhormat para anggota Pengurus Wertheim Foundatrion.
Yth pejabat pimpinan dan staf Kedutaan Indonesia
Goenawan Mohammad dan sahabat-sahabatku tercinta.
Para tamu yang terhormat,
Setelah menjalani bedah jantung tiga minggu yang lalu, fisik saya belum sepenuhnya pulih. Tetapi sekarang ini, jiwa dan fikiran saya dalam kesehatan baik. Dan saya sangat gembira hadir di sini berhadapan dengan hadirin semua dalam peristiwa ini. Suatu kejadian yang begitu signifikan khususnya bagi saya.
Wertheim Award yang akan saya terima hari ini, bersama dengan sahabat karib saya kawan bung Goenawan Mohammad, menjadikan saya bangga dan merupakan kehormatan besar bagi saya. Oleh karena itu perlu saya tekankan segera bahwa kehormatan ini jelas bukan sesuatu yang semata-mata bagi saya pribadi. Saya sepenuhnya sadar bahwa perjuangan untuk kebebasan menyatakan pendapat, bagi individu maupun bagi masyarakat, merupakan suatu usaha kolektif orang-per-orang yang mempunya prinsip dan pendirian yang sama. Teristimewa mengenai kegiatan Hasta Mitra yang bekerja di bidang publikasi. Di sini ingin saya sebut pertama-tama, sumbangsih Hasyim Rahman dan Pramudya Ananta Tur. Kemudian sumbangsih para karyawan, yang kerja dengan rajin dan setia pada cita-cita Hasta Mitra, diantaranya mendiang Kasto dan sahabat kita Sugeng. Semua empat orang tsb, yang saya sebut namanya tadi, semua mantan tapol Pulau Buru.


Saya jug tidak lupa para pemuda dan mahasiswa, juga toko-toko buku kecil-kecilan yang berani dan mengambil risiko ketika mendistribusikan buku yang kami terbitkan, teapi yang selalu dilarang oleh pemerintah Suharto.
Satu point ingin saya garisbawahi di sini. Penyampaian Award ini adalah inheren dengan pengakuan bahwa di dalam periode sejak didirikannya Republik Indonesia yang baru diproklamasikan dalam tahun 1945, telah terdapat suatu titik-hitam (black spot) yang sangat menghina martabat manusia. Selama lebih separuh dari 60 tahun berdirinya, Repulik Indonesia berada di bawah kekuasaan otoriter militer di bawah pimpinan jendral Suharto. Tetapi kita semua tau bahwa negeri-negeri yang menamakan dirinya 'dunia bebas' ('the free world') justru menganggap periode Suharto adalah periode demokrasi di Indonesia. Karena para jendral itu berhasil menggulingkan pemerintahan Sukarno yang dituduh pro-komunis. Saya menganggap Award yang akan saya terima ini sebagai suatu koreksi terhadap manipulasi politik dan penilaian rincu terhadap sejarah.


Selanjutnya, pemberian Award berarti pengakuan bahwa di tengah-tengah kekuasaan militer, telah lahir dan tumbuh kekuatan progresif yang dengan terang-terangan melakukan perjuangan melawan kesewwnang-wenangan rezim. Kekuatan progresif ini belum tampil sebagai pemenanng, Karena dengan turunnya jendral Suharto, bukan dengan sendirinya berarti kehancuran substansial kekuasaan otoriter yang menamakan dirinya rezim Orde Baru. Ini dibuktikan oleh award yang diberikan oleh partai Golkar kepada orang yang yang hakikatnya mengepalai rezim otoriter itu. Orang yang menjadikan korupsi sebagai kultur yang menguasai segenap lapisan kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia. Arti penting dari kekuatan juang ini ialah bahwa kekuatan ini punya keberanian untuk terang-terangan tampil dan bahwa adalah penting sekali bahwa kekuatan juang ini tidak berhenti di tengah jalan. Karena, tugas untuk mencapai keadilan, hak kebebasan pribadi dan mempertahankan martabat manusia merupakan usaha seumur . Itu berlaku dimana saja dan dalam situasi yang bagaimanapun.


Saya merasa bangga menerima Wertheim Award ini, pertama-tama karena saya punya hubungan pribadi dengan Profesor Wertheim yang saya amat hormati dan kagumi otoritasnya dan kepribadian yang bermartabat sebagai manusia, sarjana dan sahabat.
Sejak saya keluar dari penjara dan berjumpa dengan beliau dalam tahun 1977 di Wageningen, saya memelihara komunikasi terus menerus dengan beliau sampai waktu beliau meninggal dunia.Yang saya maksud dengan hubungan pribadi ialah, bahwa adalah Profesof Wertheim yang mendampingi saya dan memberikan bimbingan, saran dan nasihat pada saat saya mengedit karya-karya Tetralogi Pramudya Ananta Toer. Dari hubungan yang intensif ini, menjadi jelas bagi saya bahwa simpati Profesor Wertheim tidak terbatas pada Hasta Mitra. Lebih dari itu. Bahwa beliau adalah sahabat sejati Indonesia, tanpa motif lain apapun. Profesor Wertheim adalah seorang warganegara Belanda yang tanpa syarat menyokong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Teristimewa emansipasi rakyat kecil yang tertindas. Menyadari sikapnya yang sungguh-sungguh dan konsisten dalam membela rakyat kecil yang tertindas, saya bertanya-tanya apakah pemberian Award hari ini bukan merupakan suatu peristiwa yang terbalik. Bukankah akan lebih tepat bahwa rakyat Indonesia, yang memberikan penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasihnya kepada Profesor WimWertheim yang secara kongkrit memberikan sumbangsihnya kepada perjuangan kemerdekaan dan emansipasi rakyat Indonesia? Dengan mengutip konsep politik BungKarno, Profesor Wertheim mreupakan elemen dari the new emerging forces in the midst of the old established fotrces yang ada di dalam masyarakat Belanda seperti halnya di dalam masyarakat Indonesia.
Bagi saya, Wim Wertheim adalah Mutatulinya abad ke-20, yang patut memperoleh penghargaan kita. Patut kita menundukkan kepala memberikan penghormatan kepada beliau, serta menyatakan terima kasih mendalam untuk sumbangsihnya yang tak terkira kepada rakyat Indonesia.


Para tamu.
Menutup 'acceptance speech' saya yang pendek ini, saya ingin bertukar pengalaman dengan sahabat-sahabat saya di negeri Belanda dalam masalah pekerjaan politik sehubungan dengan hak bagi individu untuk kebebasan menulis dan kebebasan untuk menyatakan pendapatnya sendiri. Yang ingin saya kemukakan di sini ialah pengalaman di Indonesia, meskipun secara pokok perjuangan untuk demokrasi dan hak-manusia dimana-mana wataknya universil. Karena kekuatan reaksioner, kekuatan otoriterisme sipil dan militer menganggap sepi martabat manusia, merusak emansipasi dan kemerdekaan individu. Ini sama saja dimana-mana di dunia ini.


Point pertama yang ingin saya kemukakan disini ialah, bahwa dalam berkonfrontasi dengan kekuasaan otoriter dan represif – yang diwakili oleh pemerintah atau oleh elemen-elemen fanatik dalam masyarakat – kia samasekali tidak boleh berilusi, seakan-akan kekuatan reaksioner itu akan menunjukkan pengertian, apalagi, toleran terhadap prinsip-prinsip demokratis yang kita perjuangkan.
Dengan ini saya ingin jelaskan bahwa sikap kompromis dalam bentuk seperti menyesuaikan diri , atau dengan lain kata, melakukan sensor-sendiri, tidak akan memperlemah kekuasaan represif atau otoriter. Sebaliknya, hal itu akan menimbulkan sikap yang lebih keras. Karena kekuatan represif tidak akan punya sikap baik untuk memahami prinsip-prinsip demokrasi. Self-censorship yang dilakukan oleh mereka-mereka yang merasa terancam, berarti kemenangan bagi kekuatan reaksioner yang represif. Self-censorship sama bahayanya dengan sensor aktif yang dilakukan oleh penguasa. Itu akan merupakan hasil besar bagi penguasa tanpa perlu mengotorkan tangan mereka sendiri.


Pengalaman lainnya yang ingin saya sampaikan ialah, jangan jemu-jemu, apalagi samasekali berhenti ditengah jalan dalam perjuangan untuk prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan milik sah kita.
Menjadi lelah, lalu bosan, hilang harapan, takut, inilah hal-hal yang diharapkan oleh penguasa otoriter dari orang atau kelompok yang mereka ingin tindas. Melakukan perlawanan berhadap-hadapan terhadap kekuatan otoriter yang bisa melakukan kekejaman memang bukanlah permainan untuk jadi pahlawan. Adalah wajar bahwa bila kita dicengkam oleh rasa takut, tetapi merasa takut, menjadi lelah, menjadi bosan dan hilang harapan, justru itulah yang jangan kita berikan kepada orang-orang penguasa itu.
Kita tau dan kita dapat berkeyakinan bahwa kita tidak sendirian dalam perjuangan mempertahankan hak-hak manusia. Jutaan rakyat berbaris bersama kita di seluruh dunia. Tetapi dalam praktek melaksanakan perjuangan untuk mencapai tujuan itu, kita masing-masing harus memikul tanggungjawab sendiri. Kebersamaan dengan rakyat lain yang sejalan dengan kita dan sama pendiriannya dengan kita, akan berakhir dengan kemenangan berasma. Tetapi, untuk memenangkan kemerdekaan dan martabat manusia selalu pertama-tama merupakan perjuangan bagi setiap individu kita masing-masing.


Kami di Indonesia masih harus melalui jalan panjang untuk mencapai hak-hak manusia, jangan lagi dikatakan mencapai keadilan dan bahkan kemakmuran untuk seluruh rakyat. Saya samasekali tidak berilusi, bahwa perubahan politik siginifikan akan tercapai selama kekuatan sosial-politik yang bertanggujawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan selama lebih dari tigapuluhtahun masih berkuasa dan termasuk ikut menentukan jalannya politik Indonesia dewasa ini. Tak ada jalan pintas. Dan tak ada jalan lain untuk menghentikan kewenang-wenangan selain seperti apa yang dinyatakan dengan indah oleh Wiji Thukul, seorang seniman rakyat, pemenang Wertheim Award 1999:
HANYA ADA SATU JALAN: LAWAN!
Jangan berhenti, bahkan sejenakpun, dalam perjuangan melawan ketidakadilan.
Saya ingin sekali lagi menyatakan rasa terima kasih yang mendalam kepada semua anggota Pengurus Wertheim Foundation memberikan kepada saya Wertheim Award.
Saya menerimanya atas nama teman-teman sepekerjaan di Hasta Mitra, dan pemuda-pemuda dan mahasiswa, yang dengan sadar dan berani mempertahankan dan berjuang untuk hak-hak manusia, untuk hak-hak setiap individu untuk kebebasan menulis dan menyatakan pendapat.


* * *
*) Ibrahim Isa adalah publisis
Sekretaris The Wertheim Foundation
Amsterdam.


=  =  =  =  =  =  =

 

*MENGENANG KAN JOESOEF ISAK (2)*

 

*<Dia itu Sukarnois Dalam Ucapan dan Tindakan>*

 

Tulisan untuk ´MENGENANGKAN SAHABATKU TERCINTA, JOESOEF ISAK, Bg 2,
dimulai dengan sedikit cerita bagaimana pengenalanku terhadap Ucup --
sapaan akrab. Ternyata beliau ini adalah seorang Sukarnois. Sulit dicari
samanya. Tadinya banyak orang, termasuk penulis ini, mengira Joesoef
adalah seorang PSI. Rosihan Anwar yang ´dekat sekali´ dengan PSI,
meskipun tidak terang-terangan mau menyatakannya, juga punya pendapat
seperti itu.

Nyatanya Joesoef Isak bukanlah orang PSI. Meskipun habitatnya --
meminjam istilah Rosihan -- adalah PSI. Joesoef Isak sendiri dalam
wawancaranya dengan wartawan Belanda, de Volkskrant, untuk Jakarta,
Michel Maas,menyatakan, bahwa orang umumnya menyangka Joesoef Isak itu
orang PSI. Orang tambah terkejut karena Joesoef mengatakan kepada Michel
Maas bahwa orang-orang PSI itu adalah ´salon-sosialis´. Tetapi Joesoef
Isak juga menyatakan bahwa dia bukan anggota PKI. Tidak mudah jadi
anggota PKI, kata Joesoef.

Joesoef Isak memang benar adalah seorang Sukarnois tulen! Antara lain
bisa dibaca dalam perdebatannya di s.k. De Volkskrant, dengan Rudy
Kausebroek, wartawan kawakan Belanda. Mereka berkonfrontasi dalam
perdebatan mengenai pelbagai topik. Tetapi yang paling seru adalah
mengenai Bung Karno, bagaimana sikap Bung Karno ketika periode
pendudukan Jepang, dan mengenai Demokrasi Terpimpin konsep Bung Karno.
Rudy Kousebroek yang melancarkan serangan. Joesoef yang membela Bung
Karno dan konsepnya.

Memang dimana saja Joesoef menulis berkaitan dengan Bung Karno, maka
Joesoef akan tampil dengan argumentasinya yang keras dan beralasan
membela Bung Karno, sejarahnya, visinya dan misinya. Dari
tulisan-tulisan Joesoef mengenai Bung Karno dan konsepsinya, orang akan
tiba pada kesimpulan, bahwa Joesoef Isak benar-benar memahami, menguasai
dan membela ide-ide dan ajaran Bung Karno.

 

* * *

 

Aku selamanya menganggap cukup mengenal Bung Karno sebagai konseptor,
inspirator dan aktivis ulung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ternyata
pengenalan dan pemahamanku itu, tidak semendalam apa yang difahami dan
dihayati oleh Joesoef Isak. Harus kuakui, bahwa sesudah lebih dekat
dengan Joesoef Isak, pemahaman dan pengenalanku terhadap ajaran-ajaran
Bung Karno bertambah. Baik dalam keluasannya maupun kedalamannya.

 

Joesoef Isak, bukan dalam omongannya saja seorang SUKARNOIS.Tetapi
terutama dalam tindakan dan tulisan-tulisannya. Justru pandangan
Sukarnois ini yang membikin Joesoef Isak, bisa berdialog dengan siapa
saja, yang beda pandangan dengan dia. Joesoef juga memahami langgam Bung
Karno berkomunikasi dengan orang lain yang punya pandangan lain.

Kalau dikemukakan di sini, bahwa tak ada kujumpai orang lain yang begitu
gairah dan yakin mengenai ajaran-ajaran Bung Karno, yang begitu
mengkhayati aj

 

Aku kenal sejak dulu, seorang tokoh dan pemimpin politik, salah seorang
intelektual dan budayawan Indonesia. Dia itu Komunis, -- Nyoto, namanya.
Beliaulah yang beberapa kali menjadi ´gostwriter´nya Presiden Sukarno.
Yang menyiapkan pidato-pidato Presiden untuk peringatan hari 17 Agustus.
Ada juga lainnya yang mengajukan konsep pidato 17 Agustus kepada
Presiden Sukanro. Tetapi Sukarno memilih konsep yang dibuat Nyoto.
Sehingga, dari satu jurusan tertentu, ada yang mengkomentari bahwa Nyoto
itu, lebih Sukarnois dari Sukarno sendiri. Yang tambah menarik ialah
bahwa ´Sukarnois´ Nyoto itu, --- juga dekat dengan Sukarnois Joesoef
Isak. Tidak kebetulan bahwa ketika Nyoto dikejar-kejar aparat sesudah
G30S, dengan tuduhan terlibat -- tanpa bukti dan tanpa diadili -- tempat
Nyoto bermalam adalah di rumah Joesoef Isak. Suatu risisko besar sekali
bagi Joesoef Isak menjadikan rumahnya tempat Nyoto menyelamatkan diri.
Aku fikir, yang membuat mereka dekat satu sama lainnya, ialah kesamaan
pandangan Joesoef dan Nyoto mengenai Bung Karno dan ajaran-ajarannya.
Makanya bisa dimengerti mengapa Tempo yang mempersiapkan penerbitan
mengenai Nyoto, mengundang Joesoef Isak pada tanggal 14 Agustus malam
yang lalu, berdiskusi bersama lainnya yang dianggap sedikit banyak kenal
siapa Nyoto.

 

* * *

 

Sesuai dengan ajaran Bung Karno, Joesoef selalu menekankan, mutlak
perlunya dibangun pesatuan bangsa Indonesia. Bukan sebarang persatuan,
tetapi suatu PERSATUAN YANG PROGRESIF REVOLUSIONER. Inilah satu-satunya
jalan menyelamatkan bangsa dan Republik Indonesia. Jalan menuju keadilan
dan kemakmuran.

Oleh karena itu ketika Subadio Sastrosatomo, embahnya PSI, sesudah
meninggalnya Sutan Sjahrir, menyatakan perlunya para pendukung Bung
Karno, pendukung Bung Syahrir dan pendukung Bung Hatta bersatu demi
menyelamatkan tanah air dan bangsa, pernyataan ini segera disambut oleh
Joesoef Isak. Ia aktif pula mensosialisasikan ide tsb.

Dimana saja Joesoef Isak sempat bicara dengan kaum muda, ia selalu
mengajukan ide tentang perlunya belajar dari sejarah bangsa. Joesoef
setiap kali mengulang-ulang kata-kata Bung Karno -- SEKALI-KALI JANGAN
MELUPAKAN SEJARAH BANGSA.

 

* * *

 

Ketika mengajukan ide-idenya berkenaan dengan SERATUS TAHUN KEBANGKITAN
NASIONAL, Joesoef mengajukan kepadaku a.l. Sbb.

´Apakah moral dan message paling inti dan paling hakekat dari peristiwa
Kebangkitan Nasionlal 100 tahuh yang lalu itu???

 

This is it : PERSATUAN NASIONAL ! ! Karena Persatuan Nasional kita
merdeka, karena Persatuan Nasional kita Kuat dan Mandiri, karena
Persatuan Nasional amburadul negeri terimbas amburadul, akibatnya negeri
serba tergantung, rakyat sengsara, cuma segelintir elit yang tetap senang.

Kata Joesoef -- Setelah menjalani 100 Tahun, sudah waktunya bikin satu
moment-opname tentang situasi dan kondisi Indonesia hari ini. Dengan
berat dan sedih inilah kesimpulannya : Indonesia dengan bumi kaya-raya
melimpah-ruah, memiliki rakyat yang sangat miskin di dunia; dan rakyat
yang miskin ini memiliki paling banyak elit yang milyuner dollar. Opo
ora sedih setelah 100 tahun bangkit dan 60 tahun lebih merdeka?

Seperti diamanatkan Bung Karno, sejarah jangan sekali-kali dilupakan.
Sejarah harus dikuasai dan dipelajari betul bukan hanya untuk
bernostalgi pada prestasi masa lalu, akan tetapi terpenting justru untuk
menarik pelajaran guna dengan lebih baik lagi menangani dan memasuki
masa-depan.

Sejarah memiliki kandungan moral, bagaimana secara benar dan tepat
memaknainya???
Sejarah menuntut dari kita semua, kesediaan dan kemampuan untuk
self-koreksi, mawas-diri. Meaning? Semua pihak, semua institusi
birokrasi, orpol, ormas, perorangan, tanpa kecuali, mau dan berani
membedah dan membenahi diri untuk tidak mengulangi, untuk mencegah semua
bentuk kebodohan dan kesalahan yang mubasir di masa lalu ! ! !
Kemubasiran yang telah dan masih terus harus dibayar dengan peringkat kemajuan negeri yang terpuruk
dan rakyat yang berkelanjutan hidup miskin sampai hari ini.

Apa kandungan amanat yang built-in dalam manifestasi Kebangkitan
Nasional. Ini : menegakkan kemerdekaan, kesejahteraan adil-makmur dan
kemandirian dengan agenda permanen berlawan terhadap kekuatan yang
menghambat dan mau mentiadakan kemerdekaan dan kemandirian tersebut - di
mana, kapan dan oleh siapa pun. Tragis sekali kalau ada segmen
masyarakat -- karena ketidak-matangan dan ignorance politik, malah
membantu dan berjalan seiring-sejalan dengan kekuatan yang agendanya
justru menggerogoti kemerdekaan, kemandirian dan

What to do, how and where to begin now?
Kita sudah cukupan menikmati demokrasi, tetapi defisit sekali
nasionalisme. Demokrasi mutlak diperlukan, tetapi hanya demokrasi yang
berisi nasionalisme modern yang cinta tanah-air, cinta rakyat -- dengan
sendirinya watak nasionalisme yang selalu mementingkan rakyat di atas
segala-galanyanya, jijik pada korupsi, konsiten menolak ketergantungan
dalam segala bentuk. Untuk itu perlu dimulai dengan membenahi
kerangka-berpikir (mind-set) rancu yang digendong-gendong selama ini.

Diperlukan mind-set revolusioner yang membangun nasionalisme modern,
membangun kebiasaan (habit) cinta rakyat, habit memelihara persatuan
yang positif, benar dan produktif bagi rakyat dan negeri, bukan
persatuan asal persatuan sekalipun dengan unsur-unsur negatif yang justru
meredusir kemerdekaan dan kemandirian.

Demikian Joesoef Isak dalam salah satu pesannya kepadaku untuk
MEMPERINGATI SEABAD KEBANGKITAN NASIONAL

 

* * *

Siapa menduga bahwa hal-hal yang dikemukakan diatas --- adalah ide yang
muncul dari Joesoef Isak?

Cobalah analisis teliti, semua yang dikatakan Joesoef Isak itu, -- -- --
konsepsionil, seratus persen adalah SUKARNOISME yang ditrapkan dalam
situasi kongkrit Indonesia dewasa ini!

 

* * *

 

 

Senin, 24 Agustus 2009
=====================


MENGENANGKAN JOESOEF ISAK


< Semboyannya: -- BERLAWAN! >
(3)

BERLAWAN, adalah serruan yang a.l diangkat Joesoef Isak menjadi semboyan hidupnya. Berlawan terhadap kesewewenang-wenangan. Berlawan terhadap ketidak-adilan dan ketidakadilan.


Pada penutup pidatonya ketika menerima 'Wertheim Award 2005', dengan kalem, tapi tegas dan bersemangat Joesoef Isak manyatakan a.l sbb:
Tak ada jalan pintas. Dan tak ada jalan lain untuk menghentikan kesewenang-wenangan selain seperti apa yang dinyatakan dengan indah oleh Wiji Thukul, seorang seniman rakyat, pemenang Wertheim Award 1999: HANYA ADA SATU JALAN: LAWAN! Jangan berhenti, bahkan sejenakpun, dalam perjuangan melawan ketidakadilan.


Sekali tempo, dalam suatu percakapan santai, aku bertanya kepada Joesoef: Cup, apa kau tak takut akan dijebloskan lagi dalam penjara? Begitu berani kau ke luarnegeri sendirian. Itu 'kan mirip avontur. Kami bertemu di Keulen. Ketika Joesoef berhasil meloloskan diri dari tangkalan ketat Kopkamtib Orba. Ia menghapuskan huruf 'ET' pada KTP-nya. Mengkopinya dan menyerahkannya kepada biro perjalanan. Selanjutnya biro perjalanan itu yang mengurus sampai ia berhasil meninggalkan Jakarta. Dengan cara riskan iu Joesoef berhasil nyelonong di depan hidung aparat, ke luar negeri sendirian. 'Begitu saja' melewati imigrasi dan duane bandar udara.


Joesoef Isak berangkat ke Eropah dengan suatu tujuan strategis perjuangan yang ditempuhnya. Rencana Joesoef dan kawan-kawanny di Hasta Mitra, ialah mendirikan perwakilan penerbit Hasta Mitra yang dipimpinnya. Dengan demikian Tetralogi Pramoedya bisa diterbitkan di luarnegeri tanpa gangguan Kejaksaan Agung RI Orba. Lagipula buku pertama Tetralogi, Bumi Manusia, edisi bahasa asingnya sudah bisa ditangani. Joesoef tau bila ia tidak 'nyerémpét-nyerémpét bahaya' ia tak akan bisa memenuhi tugas itu.


Menjawab pertanyaanku, apakah ia samasekali tidak takut, kata Joesoef: Aku ini bukan nabi. Aku ini orang biasa, sama dengan yang lainnya, juga punya rasa takut. Aku bukannya tidak ada rasa takut itu. Tetapi, kata Joesoef, ketakutan itu tak boleh kita tunjukkan di hadapan musuh (maksudnya aparat keamanan Orba). Terhadap mereka kita selalu harus menunjukkan, keberanian dan keteguhan pendirian yang benar dan adil, serta semangat berlawan yang mantap.


* * *


Joesoef Isak adalah sahabat kentalku. Tetapi aku tidak akan mengatakan bahwa aku kenal benar siapa Joesoef Isak. Terasa penyesalan tidak lebih banyak bicara dan tukar fikiran dengan dia.Yang kukenal benar tentang Joesoef, ialah bahwa seluruh hidupnya diabdikan pada perjuangan demi cita-cita mulya yang diyakininya: Keadilan bagi rakyat! Ikut membangun Indonesia yang kaum intelijensianya berani berfikir sendiri. Yang mandiri, cinta bangsa dan tanah. Cinta rakyat kecil dan siap berjuang dengan berani dan konsisten sampai akhir.


Apa yang diungkapkan oleh wartawan Belanda Michel Maas, mengenai wawancara dan kesannya mengenai Joesoef Isak, kiranya akan menambah pengenalan kita tentang Joesoef. Menarik bahwa Joesoef mengungkap 'soalnya' mengapa 'pisah' dengan Pramoedya, dan peranannya sendiri dalam penerbitan buku-buku Pram. Joesoef bicara terus terang bahwa ia bersimpati dengan PKI, tetapi bukan anggota PKI. Bahwa ia banyak tau tentang apa yang terjadi di sekitar 30 September 1965. Bahwa Joesoef punya analisis dan kesimpulan sendiri mengenai itu. Bahwa Joesoef punya tekad dan semangat baja untuk terus berjuang, melalui kerja. Kerja dengan menerbitkan buku-buku bermutu. Bahwa Joesoef tidak menganggap dirinya korban. Apakah itu korban CIA, tentara atau Orba. Joesoef menganggap mereka itu musuh yang harus dilawan dengan perjuangan kongkrit. Bahwa Joesoef menganggap ilusi bisa tercapai rekonsiliasi dan rehabilitasi selama sistim rezim lama masih diteruskan.


* * *


Michel Maas, adalah wartawan Belanda, berkedudukan di Jakarta. Ia mewakili s.k. De Volkskrant, Amsterdam. Ia mengenal Joesoef Isak justru dari tindakannya sebagai orang yang melakukan perlawanan.
Pada suatu ketika wartawan de Volkskrant itu mengunjungi Joesoef Isak. Ia hendak mewawancarai Joesoef Isak. Kemudian wawancaranya itu disiarkan di De Volkskratn pada tanggal 18 Juni 2005. Lalu disiarkan ulang dengan perubahan disana-sini pada tanggal 21 Januari 2009, Michel Maas memberikannya judul 'EEN DAAD VAN VERZET', 'SUATU TINDAKAN PERLAWANAN'!


Tulis Michel Maas a.l.: Sebagai penerbit Joesoef Isak (76) di Indonesia melakukan perjuangan politik. Dengan menerbitkan 'DAS KAPITAL' oleh Karl Marx, Joesoef Isak lagi-lagi menerbitkan dan mengedarkan 'buku terlarang' di pasaran. Disebabkan oleh kegiatan seperti itu, Joesoef Isak dua kali ditahan. 'Suharto sudah jatuh, tetapi sistim kekuasaannya masih utuh', demikian Joesoef.


Buku itu baru saja terbit. Di Indonesia masih tetap dilarang, tetapi Joesoef tak ada kerja lainnya selain menerbitkan buku terlarang, sejak mula ia mengelola penerbitannya itu. Hasta Mitra, memulai pekerjaannya dengan menerbitkan buku-buku pertama Pramoedya Ananta Toer.
Penerbitan 'Kapital' merupakan tindakan baru perlawanan yang dilakukan Joesoef.
Bukunya diterbitkan, katanya, bukan karena di Indonesia masih ada orang yang akan membaca buku setebal itu. Barangkali ada sepuluh orang, kata Joesoef. Tidak ada lagi orang yang membaca. 'Orang-orang yang punya visi di Indonesia bisa dihitung pada sebelah tangan. Kaum intelejensia kami telah dibabat habis. Para pemimpin politik kami dewasa ini adalah aktor-aktor kelas tiga. Sekarang berbondong-bondong pemuda kita mengikutinya dibelakang. Sudah lama saya bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi. Saya telah mencari di (kamus) Van Dale. Disitu tak saya temui. Akhirnya saya temui di 'Winkler Prins': REIFICATIE, yang oleh orang Jerman disebut 'Verdinglichung'.


Saya baca dan memikirkan, inilah yang persis terjadi di sini: rekayasa fikiran manusia diterima sebagai suatu kebenaran.
'Suharto adalah jagoan dalam menyebarluaskan 'kebenaran-kebenaran' serupa itu. Ia memulainya sesudah terjadinya pembunuhan pada tanggal 30 September 1965. Ia (Suharto) menceriterakan bahwa para jendral-jendral itu, sebelum dibunuh, mereka ditikam berkali-kali dengan belati. Cerita itu bohong besar. Tetapi rekayasa itu diberitakan di semua media sebagai sesuatu yang benar. Dan sekarang seperti itulah tercantum dalam buku-buku sejarah '.
'Setiap lima tahun sekali, pemerintah mengeluarkan sebuah analisa. Kepada rakyat diceriterakan bahwa ABRI (tentara) adalah organisasi terbaik di negeri ini, terdiri dari orang-orang yang paling baik, orang-orang yang berpendidikan paling hebat. Oleh karena itu tigapuluh tahun lamanya rakyat percaya bahwa tidak mungkin tanpa ABRI. Dan sekarang hal itu masih dipercayai'.

'Joesoef berumur 76 . Jika ia berbicara apalagi bila ia tertawa, ia tampak tambah muda sekali. Dan ia tampak jauh lebih kuat terbanding orang yang tiga hari yang lalu terbaring di tempat tidur. Ia tiba-tiba tidak bisa bergerak samasekali. Ini suatu pendarahan otak kecil, fikirnya. Maka ia sementara tak merokok lagi. Di lantai terletak sobekan New York Times tertanggal 13 Februaru 2003. Separuh tulisan di situ adalah mengenai Joesoef Isak. Di sederet buku-buku terdapat sebuah piagam pengharagaan: The Jeri Laber International Freedom to Publish Award – penghargaan dari penerbit Amerika yang diperolehnya tahun lalu sebagai penghargaan atas keberaniannya terus menerbitkan buku-buku tanpa mempedulikan ancaman, intimidasi dan 'pemberangusan'. Disembunyikan di belakang sejumlah buku tampak foto lama. Di situ tampak Joesoef dengan Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya novelis besar dan calon-Hadiah Nobel dengan siapa ia hamir duapuluh lima tahun lamanya adalah penerbit dan editornya.


Sejenak ditatapnya foto itu dan ia terdiam. Foto itu telah menjadi sejarah seperti foto lama dengan Profesor Wertheim ('benar-benar tukang-cela, dari beliau saya banyak belajar', celetuk Joesoef). Dua tahun yang lalu dengan menyedihkan telah berakhir kerjasama yang mesra. Ketika itu tiba-tiba saja Pramoedya membatalkan semua kontrak dengan Joesoef. Penerbit terlalu sedikit memberikan royalti kepadanya, begitu kata Pram. 'Joesoef yang melahap habis uang saya itu'. Sekarang salah seorang dari putri Pramoedya yang menerbitkan buku-bukunya. 'Sampai hari ini saya tidak bicara dengan dia. Saya menenangkan diri saya dan mengatakan bahwa soal itu terletak pada telinganya. (Pramoedya hampir tuli)'. Joesoef terlalu keras kepala, untuk pergi sendiri ke Pram. 'Tetapi jika ia mengundang saya besok, saya akan segera mendatanginya', kata Joesoef.


Foto itu mengandung separuh kehidupan manusia. Selama duapuluh tahun Joesoef adalah jurubicara Pramoedya. Adalah penerbit dan redaktur yang diberi kuasa untuk mengadakan perubahan terhadap buku-buku sang master halmana memang diperlukan. Tak pernah Pram berkeberatan terhadap suatu perubahan besar. 'Tampaknya, karena ia tidak pernah membaca lagi bukunya itu, kata Joesoef ', demikianlah Pram. Ia lebih baik tidak melihatnya lagi teks yang ditulisnya. Pram bilang, kaulah editor saya. Saya mempercayaimu. Lakukanlah apa yang kau anggap perlu'. Joesoef puas tanpa nama . Kenyataan ialah bahwa bagian-bagian yang banyak dipuji dari buku Pram itu, adalah bagian-bagian yang dibuat Joesoef. 'Saya selalu merasa bangga menjadi penerbit Pram. Pram adalah seorang literator besar. Seorang yang benar-benr intelektuil.. Saya anggap adalah tugas politik untuk menerbitkan buku-buku Pram. Tapi mungkin sikap saya itu juga sedikit suatu sikap banga atas diri sendiri'.


Mereka berkenalan sejak sebelum 1965, ketika Pram adanggoa pengurus Lekra, sebuah perhimpunan seniman kiri. Joesoef ketika itu pemimpin redaksi s.k. Merdeka. Namun, kerjasama mereka baru dimulai dalam tahun 1970. Setelah mereka keluar dari penjara. Pram datang dari pulau tahanan Buru dengan empat manuskrip yang kemudian membikin dia terkenal di dunia. Dan Joesoef memilik kopi bawah tanah dari sebuah dari buku-buku itu. Joesoef membacanya lalu menyimpulkan akan baik sekali bila boleh menerbitkannya.


Dengan Hasyim Rachman, mereka sama-sama mendirikan Hasta Mitra (tangan sahabat). Kemudian menerbitkan 'Bumi Manusia'. Bagian pertama dari tetralogi Buru itu. Kontan buku itu jadi bestseller. Tetapi ketika terbit cetakan keenam, penguasa Jakarta bertindak. Penguasa melarang Bumi Manusia dan bagian kedua 'Anak semua bangsa'. Kemudian dua jilid lainnya yang menyusul juga dilarang. Namun, kopi-kopi yang sudah terbit itu diperbanyak melalui pengkopian dalam jumlah besar. Dan dijual diam-diam. Joesoef ditahan dan dua kali dipenjarakan (lagi). Juga putranya ditangkap, ketika ia mengundang Pram untuk bicara di UI. Bapak dan anak bagi penguasa merupakan bukti, bahwa hubungan keluarga bisa bahaya. Penahanan bapak dan anak itu, merupakan permulaan politik baru. Selanjutnya bukan saja para tapol tetapi juga anak-anaknya tidak boleh studi. Juga tidak boleh bekerja di pemerintahan dan pekerjaan peka seperti guru, yustisi dan jurnalistik.


Pramoedya selalu membantah bahwa ia komunis. Joesoef tidak membantah apapun. (Karena) Ia bukan komunis. Tetapi ia ingin jadi komunis, katanya. 'Saya benar-benar terpinspirasi. Pada PKI terdapat teman-teman saya. Seluruh avant-garde ada di situ. Para pelopor dalam musik, dalam seni lukis, semua komunis. Partai mengirimkan orang-orang ke konservatorium ke Berlin dan ke Roma. Mereka mengangkat kesenian rakyat benar-benar pada taraf seni. Dari keroncong mereka ciptakan simfoni. Simfoni Beethoven yang kelima dan keenam, tema-tema di situ kecil saja. Soedarnoto mengambil tema dari empat baris dan menggubahnya menjadi sebuah orkes simfoni. Kedengarannya seperti Per Gyntnya Edvard Grieg.


Joesoef tak pernah jadi anggota. 'Kamu fikir apa: Bahwa PKI itu adalah suatu klab ibu rumahtangga. Sehingga kau bisa begitu saja jadi anggota. Saya ketika itu pemimpin redaksi s.k Merdeka, sebuah suratkabar yang benar-benar burjuis. Dan saya beken sebagai anggota PSI, partai sosialis Indonesia. PSI, itu adalah orang-orang salon-Sosialis. Sedikitnya orang harus lebih dahulu membuktikan selama dua tahun jika mau jadi anggota PKI.'
Ia tidak sampai pembuktian dua tahun itu. Pada malam 30 September – 1 Oktober 1965, Indonesia tiba-tiba berubah.


Hampir seluruh pimpinan AD – enam jendral dan seorang perwira – malam itu dibunuh. Orang-orang komunis yang disalahkan. PKI dilarang dan anggota-anggota dan yang diduga simpatisan ditangkap. Mereka dibunuh atau hilang. Ratusan ribu orang dibunuh dalam suatu kampanye yang disulut secara bernafsu oleh CIA Amerika. Perebutan kekuasaan itu menjadikan Suharto penguasa. Indonesia dirampok dari pelopornya zaman ketika itu. 'Seluruh intelejensia disapu bersih. Jika kau merenggutkan kaum intelejensia, berarti kau telah merampok rakyat dari apa yang paling berharga yang dimilikinya. Sejarah manusia selalu merupakan sejarah intelejensia'.
Tak ada yang tau apa yang sebenarnya terjadi pada 30 September. Dan siapa dibelakangnya. Tigapuluh tahun lamanya hanyalah versi Suharto yang diceriterakan. Sekarang semua yang terlibat sudah mati. Joesoef banyak tau. Ia juga 'banyak sekali tau' apa yang terjadi dalam tahun 1965, katanya. 'Seluruh pimpinan tertinggi PKI sembunyi di rumah saya'. 'Tetapi makin banyak yang diketahui, masalahnya semakin rumit'.


Tidak begitu sederhana sehingga dapat mengatakan bahwa PKI -lah yang melakukannya. Ada dua PKI. Partai yang legal dan punya konstitusi. Ada yang ilegal yang punya agenda lain. Yang ilegal yang terlibat dalam peristiwa 1965. Apa yang terjadi pada tanggal 30 September, adalah suatu tumpang-tindih lebih dari satu skenario. Yang dari CIA, yang dari PKI dan yang dari tentara.Semua mematai semua.Tentara menyusupi PKI dan orang-orang komunis punya mata-mata mereka di pimpinan tertinggi tentara. Dan semuanya punya rencananya masing-masing. Itu adalah suatu 'masterpiece of intelligence'.


Yang tampak tidak jelas, ialah, pertanyaan 'masterpice' itu siapa punya. Yang jelas ialah bahwa Suharto tampil sebagai pemenang. 'Suharto telah mampu menggunakan itu semua. Ia tidak hodoh, seperti orang bilang. Ia cerdik. Ia melihat kesempatan dan menggunakannya'. Joesoef masih melihat yang masih hidup dari kaum intelejensi periode itu. 'Mereka semua eks-tapol, pada datang ketika peluncuran 'Kapital'. Semua mereka marah: Marah pada CIA, dan marah pada Indonesia. Sekarang mereka bicara tentang rekonsiliasi, tentang kompensasi, tentang rehabilitasi. Harus dibentuk komisi rekonsiliasi , yang harus meluruskan sejarah. Saya kira tak akan jadi apa-apa itu. Rehabilitasi yang mereka minta adalah suatu ilusi. Mereka menginginkan sepucuk surat dengan ada stempelnya di situ. Lagi-lagi itu adalah abstraksi yang jadi realita.


'Saya tidak mengatakan: Saya adalah seorang korban CIA, korban Suharto. Atau korban Orde Baru. Saya bilang saya adalah musuh Suharto. Saya musuh Orde Baru. Suharto telah tumbang. Tetapi seluruh sistim kekuasaan negara masih utuh. Saya tidak akan menggerutu! Saya menerbitkan buku.
Bekerja! Itulah yang dapat dilakukan. Saya 76, tetapi saya jalan terus'.
Demikian singkatan teks wawancara Joesoef Isak dengan wartawan Belanda, Michel Maas. Tulisan Michel Maas disiarkan di de Volkskrant dalam bahasa Belanda. Yang diatas adalah terjemahan bebas dan sedikit dipadatkan.

* * *